LaUtAN cHAyA SuFi

Pengkaderan Tunas Muda NU Yang Mengkhawatirkan (Sebuah Usulan Untuk Muktamar NU)

Muktamar NU yang akan berlangsung Maret 2010 sudah mulai meramaikan media massa. Sayangnya wacana yang beredar hanya sekitar persoalan kandidat ketua umum PBNU. Jarang yang mengangkat wacana seputar pengkaderan tunas muda NU yang semakin mengkhawatirkan.

Seputar pengkaderan NU, pernah timbul polemik antara di website resmi NU Online antara Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dengan Ketua Umum PB PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) M. Rodli Kaelani. Ketika membuka Kongres IPNU-IPPNU yang tengah berlangsung di Pesantren Al Hikmah Brebes, KH Hasyim Muzadi mengeluhkan peranan PMII yang melupakan pengkaderan NU di sektor mahasiswa karena terlalu aktif berpolitik di luar kampus dan bahkan sebagian aktivis PMII terpengaruh paham liberalisme agama. Hasyim menyarankan agar IPNU-IPPNU juga turut memperhatikan pengkaderan mahasiswa tanpa melupakan pengkaderan pelajar dan santri.

Rodli Kaelani pun membantah sinyalemen Hasyim bahwa PMII melupakan pengkaderan NU di sektor mahasiswa. Menurutnya PMII tidak pernah melupakan “raison d’etre”-nya sebagai organisasi mahasiswa sayap NU walaupun telah independen secara struktural dari NU.

Polemik di atas pun hanyalah bagaikan fenomena “gunung es” dari sekian banyak problematika di NU, ormas Islam terbesar di Indonesia dan dunia yang kini makin tidak “marketable” setelah outlet-outlet politiknya seperti PKB dan PKNU hancur lebur dalam Pemilu 2009.

NU kini tidak bisa lagi membanggakan “outlet” politiknya seperti PKB yang hanya meraih 4,9% suara. Namun, untuk kembali pada khittahnya sebagai pemilik “outlet” sosial-keagamaan-pendidikan, NU juga tidak percaya diri. Masyarakat dan pasar lebih mengenal Aa Gym, Ustadz Jeffry dan dai TV lainnya sebagai tokoh-tokoh yang punya “outlet” agama daripada tokoh-tokoh NU. Sementara itu “outlet” pendidikan NU seperti pesantren pun tidak lagi populer. Masyarakat lebih memilih antre mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah negeri, sekolah-sekolah internasional dan sekolah swasta favorit.

Ketika “outlet” dan “produk” politik yang dikeluarkan NU tidak diterima pasar (Baca: tidak laku dijual), mungkin ada baiknya kita melihat apakah para “sales”, “manajer” dan “desainer” yang selama ini merancang “produk”, menjaga “outlet” dan memasarkan “produk” politik keluaran NU sudah menjalankan kinerjanya dengan optimal ataukah memang para desainer, manajer dan sales itu tidak kompeten?

Tidak hanya di politik, banyak kader muda NU yang tidak kompeten di berbagai sector utamanya bisnis dan birokrasi.. NU –melalui IPNU dan PMII- harus bergerilya di sekolah, pesantren dan kampus untuk mencari “elit breeds” (bibit unggul) yang kompetem. Oleh karena itu, IPNU dan PMII harus benar-benar fokus dalam perannya sebagai ujung tombak pengkaderan NU.

Bila IPNU dan PMII berperan sebagai “talent scouting” (pencari bakat), maka IPNU dan PMII perlu sadar bahwa mereka harus fokus dalam target dan sasaran ketika merekrut para pelajar dan mahasiswa. Implementasi teknisnya, IPNU dan PMII perlu fokus dalam menyasar sekolah, pesantren dan kampus yang menjadi sasaran perekrutan anggota.


Road Map Pengkaderan IPNU-IPPNU dan PMII

Pertama, untuk merekrut anggota dari pesantren/madrasah, IPNU harus menentukan pesantren/madrasah yang potensial. Pengertian potensial di sini adalah ratio santri yang melanjutkan kuliah dengan keseluruhan santri. Bila pesantren/ madrasah tersebut ratio santri yang kuliahnya rendah maka pesantren/madrasah tersebut jelas bukan sasaran utama. Mengapa? Karena, bila santri tersebut tidak melanjutkan kuliah –karena keterbatasan finansial atau akademis- maka santri tersebut tidak bisa dikembangkan potensinya untuk menjadi kader karena selulus pesantren/madrasah ia akan lebih fokus mencari kerja atau berwirausaha.

Kedua, untuk merekrut anggota dari sekolah, IPNU juga harus menentukan sekolah yang potensial. SMA-SMA negeri di kota-kota besar haruslah menjadi target IPNU. Mengapa SMA negeri? Karena –lagi-lagi- ratio pelajar SMA negeri yang melanjutkan kuliah cukup tinggi dan bahkan lulusan SMA negeri mampu diterima di PTN favorit. Misalnya, para pelajar SMA 8 Jakarta bagaikan “naik kelas” saja di UI. Begitu pula dengan SMA 3 Bandung yang “naik kelas” di ITB dan SMA 1 Yogyakarta yang “naik kelas” di UGM.

Ketiga, IPNU dan PMII harus melakukan semacam “MoU” agar kader IPNU yang masuk perguruan tinggi dapat –dan harus- menjadi anggota PMII sebagai kelanjutan kaderisasi ke-NU-an. Bila ada kader IPNU yang “nyasar” di kampus dengan menjadi anggota organisasi ekstra non-PMII, maka para pengurus IPNU harus mengingatkannya. Namun, memang untuk kondisi kekinian mengingat status independensi PMII terhadap NU, maka sebaiknya perlu komitmen ulang dari PMII untuk tetap “on the right track” pada rel NU bahkan kalau perlu PMII kembali pada NU secara struktural dan kultural. Toh, atmosfer politik otoritarianisme Orde Baru yang melatarbelakangi independensi PMII dari NU sudah tidak ada lagi.

Keempat, PMII –sebagaimana IPNU- juga harus fokus pada kampus-kampus tertentu. Bila selama ini, PMII tumbuh subur di kampus-kampus agama seperti UIN, IAIN, STAIN dan STAI swasta, maka sudah saatnya PMII melakukan “ekspansi pasar” ke kampus-kampus umum terutama UI, ITB dan UGM mengingat tiga PTN inilah yang berhasil meraih peringkat dalam survey universitas terbaik sedunia versi Times Higher Education tahun 2008 dimana UI berada di rangking 287, ITB di urutan 315 dan UGM di rangking 316. PMII harus fokus dan mengerahkan segenap sumberdayanya “at all cost” untuk merekrut kader dari UI, ITB dan UGM dan PTN lainnya karena tidak bisa dipungkiri di tiga PTN tersebut berkumpul “elit breeds” yang akan mengisi sektor strategis di bisnis/swasta, pemerintahan/ birokrasi dan political & civil society. (alf)
Category: