LaUtAN cHAyA SuFi

NU Mazhab Revisionis

Masih terngiang-ngiang dalam benak saya saat silaturahmi ke rumah KH Said Aqiel Siradj di Ciganjur beberapa tahun silam. Dia bilang,”Ibu saya mengharapkan saya bisa menjadi ketum PBNU. Kalau jabatan menteri agama, ibu saya malah tidak terlalu mendukung.”
Saat itu, memang lagi santer kalau kyai asal Cirebon ini diisukan akan diangkat menjadi menteri agama di jajaran kabinet SBY. Ya, kata-kata tersebut kini telah mewujud. Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj MA telah terpilih menjadi ketua tanfidziyah PBNU bersama Dr KH Sahal Mahfudz sebagai rais am hasil Muktamar NU ke-32 di Makasar yang barusan usai.

Empat belas tahun belajar di Timur Tengah telah mengantarkan sosok Kang Said sebagai salah satu intelektual muslim Indonesia dan tokoh lintas agama. Capaian ini pernah dikomentari Dr. Hidayat Nur Wahid,“Said Aqiel termasuk mahasiswa kutu buku. Semasa di Makkah, ia lebih sering ditemukan di tempat-tempat ilmiah dan sulit menemukannya di forum-forum gerakan/organisasi.” Gus Dur juga pernah melontarkan kata-kata kekaguman,“Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi.”

Revisionis Aswaja
Aswaja pada awal sejarahnya dipandang sebagai madzhab, yaitu sebagai aliran Asy’ariyah dalam teologi dan menganut madzhab empat dalam fikih. Seperangkat aturan dan norma yang ada dalam Asy’ariah dan empat madzhab tersebut dijadikan referensi terutama ubudiyah dan cara pandang tata kehidupan warga NU.

Nah, gebrakan awal Kang Said ketika pulang ke tanah air adalah menggulirkan wacana perlunya umat Islam Indonesia melakukan rekonstruksi pemahaman Aswaja. Baginya, hal itu dipandang perlu mengingat selama ini umat Islam Indonesia masih belum mampu mencairkan sekat-sekat pemahaman keislaman. Hebatnya, kritik Aswaja yang dilakukannya dengan pendekatan sejarah Islam ternyata membawa trend tersendiri di kalangan santri. Booming Said Aqiel di pertengahan tahun 1990-an berhasil memaksa komunitas pesantren untuk belajar sejarah Islam. Padahal, selama berabad-abad, pesantren di Indonesia didominasi oleh kajian fikih dan gramatika Arab.

Gebrakan pemikirannya bahkan sempat menuai reaksi keras dari komunitas kyai pesantren. Dia pernah “diadili” puluhan kyai dalam forum halaqah. Kang Said juga pernah mendapatkan surat teguran dari kyai-kyai Jawa Timur. Berbagai label juga sempat menghiasi lembar namanya; “agen Syiah”, “kafir”, “agen Yahudi”, “neo Mu’tazilah” dan lainnya. Bahkan muncul juga usulan agar Universitas Umm al-Qura mencopot gelar doktoralnya. Tanggapan Kang Said,“Apapun gelar yang diberikan, saya tidak peduli. Jangankan gelar doktoral, gelar haji pun jika mau dicopot akan saya berikan.”

Menurut Kang Said--sebagaimana terangkum dalam dua bukunya Ahlussunnah Wal Jamaah Dalam Lintasan Sejarah dan Tasawuf Sebagai Kritik Sosial--watak Aswaja akan selalu bisa beradaptasi dalam segala situasi dan kondisi. Posisi tawassuth atau moderasi ini tentu bukanlah harga mati. Jalan tengah ini bisa diibaratkan dengan titik tengah biji kelereng yang bulat. Makin besar bulatannya, titik tengahnya pun kian besar pula. Demikian pula, makin berkembang konsep moderasi tersebut, makin berkembang pula daya jangkau dan potensinya mengikuti perkembangan zaman.

Inilah saatnya memaknai Aswaja sebagai manhaj taghayyur al-ijtima (metode perubahan sosial). Ini berarti pola perubahan yang berdimensi sosial-kemasyarakatan-kemanusiaan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah yang dilanjutkan para sahabat penerusnya sampai di era kontemporer.

Menurut Kang Said, Aswaja sebagai manhaj al-fikr adalah sebuah metode berpikir yang “eklektik”, yakni mencoba mencari titik temu dari sekian perbedaan dengan pembacaan jeli, sampai melahirkan tawaran alternatif. Pemikiran Aswaja ini akan selalu terbingkai dalam landasan tawassuth, tawazun, ta’adul, amar ma’ruf nahi munkar, istiqamah dan tasamuh.

NU yang Beradab
Kendati belajar di Arab Saudi yang Wahabi, namun Kang Said justru mengedepankan pemikiran yang toleran, akomodatif dan universalis. Ini mengherankan bila dibanding kebanyakan mereka yang pernah belajar di Arab Saudi dan kemudian menjadi “jurkam” Wahabi di tanah air. Apalagi, saat ini di negeri kita tengah marak gerakan Wahabiyah yang begitu militan menyebarkan pemahaman Islam yang tidak saja puritan, tapi bahkan radikal.

Mengelola NU memang bukan sekedar terpaku pada pemikiran. Ada bejibun tuntutan agar NU mampu mewujudkan kemashlahatan yang lebih konkrit, terutama menyangkut ekonomi. Belum lagi mengelola “syahwat politik” warga NU yang masih membara sehingga perlunya menguatkan kembali khithah 1926. Kang Said memang sudah bertekad untuk tidak membawa NU ke ranah politik.

Tapi ingat! Justru berangkat dari landasan berfikir yang tepat akan melahirkan praksis yang jitu pula. Tidak ada peradaban yang tidak terlahir dari pemikiran. Berkali-kali Kang said menyatakan bahwa Islam tidak sekedar akidah dan syariah, tapi juga tsaqafah dan hadharah (peradaban). Dalam kata-katanya yang kerap diobrolkan pada saya,”Kita ini “non muslim’ dalam soal tsaqafah dan hadharah. Sedangkan orang Barat “non muslim” dalam soal akidah dan syariah.” Kang Said senantiasa memimpikan agar umat Islam berperadaban, tidak hanya “berkelahi” dalam soal akidah dan syariah.

NU sebagai “teks/nash” merupakan fakta dinamis dan historis--meminjam ungkapan Hassan Hanafi--mempunyai tudung nilai-nilai referensial yang dihayati bersama oleh masyarakat (makhzun nafsi ‘inda al-jamahir). Kepemimpinan Kang Said kiranya bisa menancapkan pemikiran revisionis Aswaja-nya untuk membawa NU ke manhaj al-harokah (praksis) dalam jihad kebangsaan dan kerakyatan yang bersinar keberadaban. Semoga. (Tulisan ini juga dimua di Majalah MataAir edisi 36 "Radikalisme Masuk Desa)
Category: